By. Paulo Freire
Paulo Freire adalah seorang pemikir berkebangsaan Brazil, menyadari betapa pentingnya "Penyadaran Manusia" terhadap suatu perubahan dalam masyarakat, sehingga Paulo Freire mencetuskan teori Penyadaran yang dimiliki oleh masyarakat, karena kesadaran merupakan kunci yang harus dimiliki masyarakat agar perubahan dapat tercapai. Dengan adanya kesadaran yang dimiliki masyarakat, maka akan sangat mudah untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang ada di masyarakat.
Hanya sedikit orang yang menawarkan pendidikan (proses penyadaran) bagi kaum tertindas, pendidikan yang di rancang secara eksplisit untuk membebaskan baik para penindas maupun tertindas sebagai korban dari sistem yang menindas.
Freire telah menawarkan pendidikan semacam itu. Freire dengan programnya di perkampungan kumuh Brasil, memulainya dengan mengkonseptualisasikan sebuah proses penyadaran yang mengarah pada konsep pembebasan yang dinamis dan apa yang disebutnya sebagai "kemanusiaan yang lebih utuh". Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi 3 (tiga) golongan, yakni:
Pertama; Kesadaran Magis (magical consciousness) adalah suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra- natural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.
Kedua; Kesadaran Naif (naival consciusness), keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
Ketiga; Kesadaran Kritis (critical consciousness), kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Masyarakat mengerti dan menyadari asal usul dari penderitaannya. Masyarakat tidak lagi menyatakan bahwa penderitaan itu semacam takdir, hal yang tidak mungkin lagi untuk di ubah dan tidak dapat di tentang atau di lawan. Akan tetapi dalam keadaan sadar, masyarakat mengerti dan berani mengungkapkan penindasan yang dialaminya dan berusaha untuk membebaskan dirinya dari belenggu yang menindas tersebut. Meningkatkan kesadaran bisa dimulai dari individu, kelompok hingga ke masyarakat. Oleh karena itu, tugas pengembang masyarakat adalah menganalisa masalah dengan cara melibatkan masyarakat secara aktif. Misalnya, membentuk kelompok aksi.
Gagasan-gagasan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan telah amat dikenal, terutama di kalangan masyarakat dunia ketiga. Hal ini tentu karena masyarakat dunia ketiga menemukan relevansi pemikiran Freire dalam kenyataan hidup yang dihadapinya sehari-hari. Simpul pemikiran Freire terletak dalam kritiknya terhadap struktur masyarakat dunia yang menindas masyarakat dunia ketiga, dan menawarkan gerakan pembebasan dan transformasi sosial melalui pendidikan. Gagasan tentang conscient izacao (penyadaran) menjadi kata kunci dalam pemikiran Freire.
Contoh kasus: Selama ini telah banyak terjadi kekeliruan mempersepsikan gagasan tentang penyadaran dan program aksi sosial yang dilakukan Freire, dengan lebih meletakkannya pada aras yang bersifat abstrak dan dikupas secara parsial sehingga seperti nyaris terlepas dari konteks sosial. Ketika Freire melancarkan program pemberantasan buta huruf di kalangan orang dewasa, orang menganggap itu sebagai sebuah bentuk upaya penyadaran. Tapi orang-orang hanya berpikir sampai di situ. Padahal,consci entizacao (penyadaran) ala Freire sebenarnya adalah salah satu titik dari serangkaian upaya keras yang berakhir pada tujuan pembebasan. Jadi, program pemberantasan buta huruf di sini adalah salah satu bentuk langkah awal penyadaran, untuk dapat memberi bekal orang-orang dewasa agar dapat membaca konteks sistem kehidupan yang meringkusnya dalam kemelaratan.
Proses penyadaran yang diinginkan Freire adalah penyadaran yang mengarah pada konsep pembebasan yang dinamis dan apa yang disebutnya sebagai “kemanusiaan yang lebih utuh”. Inilah tingkat kesadaran ketika seseorang dapat melihat suatu sistem sosial secara kritis (kesadaran kritis).
Freire sendiri membedakan tiga bentuk kesadaran, yakni kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Ketiga kesadaran tersebut bagi Freire bersifat hierarkis. Dalam setiap fase tersebut, individu memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi situasi sosial yang dihidupinya, mulai dari cara memberi nama terhadap persoalan (proses penamaan), memahami penyebab masalah tersebut (proses berpikir), dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mengubahnya (tingkat aksi). Individu berkesadaran magis menangkap masalah yang dihadapinya dari perspektif fatalistik, menganggap faktor-faktor yang tak terkendali (Tuhan, nasib, keberuntungan) sebagai penyebab masalah, dan hanya bisa menerima, menunggu, serta pasrah terhadap ketakberdayaannya itu. Individu berkesadaran naif tunduk terhadap ideologi si penindas, atau malah bekerja sama dan meniru perilaku menindas itu sendiri.
Sementara itu, sosok individu berkesadaran kritis yang diperjuangkan Freire dicirikan dengan kemampuannya melihat dunia berinteraksi dengan dirinya secara lebih utuh (integral, sistemik), sehingga dia dapat menjadi subyek kritis yang dapat berpartisipasi mengubah realitas. Individu berkesadaran kritis tidak sekedar beradaptasi dengan dunia, tapi berusaha melampaui dengan mengaktualisasikan dirinya secara optimal.
Catatan penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa bagi Freire tugas pendidik mengantarkan individu pada fase kesadaran kritis ini adalah bukan dengan menyediakan sejumlah jawaban atas persoalan yang dihadapinya, tapi dengan mengajak mereka mengajukan pertanyaan, menghadapkan mereka pada dunia dengan sewajarnya. Pada titik inilah dialog menjadi kata kunci penting dalam pemikiran Freire, karena persoalan yang digeluti tiap individu adalah sesuatu yang bersifat eksistensial.
Kesadaran berakar dari kata sadar, menurut Kamus Ilmiah Populer kata sadar secara etimologi dapat diartikan sebagai ingat akan dirinya atau merasa dan insaf. Sedangkan secara terminologi kesadaran adalah keinsafan akan perbuatannya serta keadaan yang sedang dialaminya (realitas). Adapun Konsep Kesadaran yang dimaksud ini adalah rancangan atau ide umum Paulo Freire mengenai kesadaran seseorang akan keadaan (realitas) serta perbuatannya.
Jumat, 06 Mei 2011
Senin, 02 Mei 2011
“Manusia Baru” dan Kaum Revolusioner
“Manusia Baru” dan Kaum Revolusioner
Ditulis oleh Leon Trotsky
Jumat, 08 April 2011 09:22
Sering ditekankan kalau tugas pencerahan Komunis adalah pendidikan manusia baru. Kata-kata ini agak terlalu umum, terlalu menyedihkan, dan kita harus sangat berhati-hati untuk tidak mengijinkan interpretasi humanitarian tak berbentuk terhadap konsep “manusia baru” atau tugas-tugas pendidikan Komunis. Tidak ada keraguan apapun kalau manusia masa depan, rakyat komune, akan menjadi makhluk yang sangat menarik dan indah, dan bahwa psikologinya (kaum futuris akan memaafkan aku, tetapi saya melihat kalau manusia masa depan akan memiliki psikologi) akan sangat berbeda dengan psikologi kita. Sayangnya, tugas kita sekarang tidak boleh jatuh pada pendidikan manusia masa depan. Pandangan Utopian dan humanitarian-psikologis adalah bahwa manusia baru haruslah dibentuk terlebih dahulu, dan lalu dia akan kemudian menciptakan kondisi-kondisi baru. Kita tidak boleh mempercayai ini. Kita tahu bahwa manusia adalah produk dari kondisi-kondisi sosial. Tetapi kita juga tahu bahwa antara manusia dan kondisi-kondisi itu ada sebuah hubungan yang kompleks dan saling bekerja secara mutual dan aktif. Manusia sendiri adalah instrumen dari perkembangan sejarah ini, dan tidak kurang dari itu. Dan di dalam aksi-reflek historis yang kompleks dari kondisi-kondisi yang dialami oleh manusia-manusia aktif, kita tidak menciptakan rakyat komune yang harmonis dan sempurna secara abstrak, tetapi kita membentuk manusia-manusia konkret dari epos kita, yang masih harus berjuang untuk menciptakan kondisi-kondisi yang mana masyarakat komune harmonis dapat tumbuh. Ini tentu saja adalah hal yang sangat berbeda, untuk alasan yang sederhana bahwa cicit kita, masyarakat dari komune ini, tidak akan menjadi kaum revolusioner.
Sekilas pandang ini tampak keliru, ini hampir menghina. Namun begitulah kenyataannya. Konsepsi “kaum revolusioner” dibentuk oleh kita dari pikiran dan kehendak kita, dari totalitas semangat-semangat terbaik kita, dan oleh karenanya kata “kaum revolusioner” dipenuhi dengan ideal-ideal dan moral-moral tertinggi yang telah kita rebut dari seluruh epos revolusi kebudayaan sebelumnya. Oleh karenanya kita seperti melempar sebuah hujatan kepada anak-cucu kita bila kita tidak menganggap mereka sebagai kaum revolusioner. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa kaum revolusioner adalah sebuah produk dari kondisi sejarah tertentu, sebuah produk dari masyarakat kelas. Kaum revolusioner bukanlah abstraksi psikologis. Revolusi sendiri bukanlah prinsip abstrak, tetapi sebuah kenyataan material historis, yang tumbuh dari antagonisme kelas, dari penindasan satu kelas oleh yang lainnya. Oleh karenanya kaum revolusiner adalah sebuah tipe historis yang konkrit, dan sebagai konsekuensinya sebuah tipe yang temporer. Kita bangga menjadi bagian dari tipe ini. Tetapi dari kerja kita kita sedang membangun kondisi masyarakat dimana tidak akan ada antagonisme kelas, tidak akan ada revolusi, dan oleh karenanya tidak akan ada kaum revolusioner. Benar kalau kita bisa meluaskan arti kata “kaum revolusioner” sampai ia mencakup seluruh aktivitas sadar dari manusia untuk menundukkan alam, dan untuk meluaskan pencapaian-pencapaian teknik dan kebudayaan. Tetapi kita tidak punya hak untuk membuat abstraksi semacam itu, peluasan tanpa batas akan konsepsi “kaum revolusioner”, karena kita belumlah menyelesaikan tugas historis revolusioner konkrit kita, yakni penumbangan masyarakat kelas. Sebagai konsekuennya, kita masih jauh dari diperlukan untuk mendidik rakyat komune harmonis, membentuknya dengan kerja laboratorium yang detil, di dalam sebuah tahapan transisi masyarakat yang sangat tidak harmonis. Tugas semacam ini akan sangat Utopis kekanak-kanakan. Yang kita inginkan adalah untuk membuat para juara, kaum revolusioner, yang akan mewarisi dan menyelesaikan tradisi-tradisi historis, yang belumlah kita bawa sampai ke kesimpulan.
Revolusi dan Mistisisme
Apa karakter-karakter utama dari kaum revolusioner? Kita harus menekankan bahwa kita tidak punya hak untuk memisahkan kaum revolusioner dari basis kelas darimana dia telah berkembang, yang tanpanya dia bukanlah apa-apa. Kaum revolusioner epos kita, yang hanya bisa diasosiasikan dengan kelas buruh, memiliki karakter-karakter psikologisnya yang unik, karakter-karakter intelek dan tekad. Bila diperlukan dan memungkinkan, kaum revolusioner menghancurkan halangan-halangan historis dan menggunakan kekerasan untuk tujuan itu. Bila ini tidak memungkinkan, maka dia mengambil jalan memutar, melemahkan dan menghancurkan, dengan sabar dan teguh. Dia adalah seorang revolusioner karena dia tidak takut untuk menghancurkan halangan-halangan dan dengan tidak mengenal kasihan menggunakan kekerasan; pada saat yang sama dia memahami nilainya. Adalah tujuannya untuk terus mempertahankan pekerjaan destruktif dan kreatifnya di tingkat aktivitas yang tertinggi, yakni, untuk memperoleh dari kondisi-kondisi sejarah tertentu tingkatan paling maksimum dimana mereka mampu menghasilkan gerak maju untuk kelas revolusioner.
Kaum revolusionis hanya tahu halangan-halangan eksternal untuk aktivitasnya, bukan halangan-halangan internal. Yakni: dia harus mengembangkan di dalam dirinya sendiri kapasitas untuk mengestimasi arena aktivitas di dalam semua kekonkretannya, dengan aspek-aspek positif dan negatifnya, dan untuk mencapai sebuah keseimbangan politik yang tepat. Tetapi bila dia secara internal terhambat oleh halangan-halangan internal untuk beraksi, bila dia tidak memiliki pemahaman atau kekuatan tekad, bila dia terhentikan oleh goncangan internal, oleh prasangka-prasangka agama, nasional, atau keahlian, maka dia paling banter hanyalah setengah revolusioner. Sudah terlalu banyak halangan-halangan di dalam kondisi objektif, dan kaum revolusioner tidak boleh memberikan dirinya kemewahan untuk melipatgandakan halangan-halangan dan friksi-friksi objektif dengan halangan-halangan subjektif. Oleh karenanya pendidikan kaum revolusioner harus, pertama-tama, terdiri dari emansipasinya dari sisa-sisa kebodohan dan tahayul, yang sering ditemukan di kesadaran yang sangat “sensitif”. Dan oleh karenanya kita mengadopsi sebuah sikap keras yang tidak mengenal belas kasihan kepada siapapun yang mengucapkan barang satu kata bahwa mistisisme atau sentimentalis religi dapat dikombinasikan dengan Komunisme. Kita berpendapat bahwa ateisme, yang merupakan sebuah elemen yang terpisahkan dari cara pandang materialis, adalah sebuah kondisi yang diperlukan untuk pendidikan teori kaum revolusioner. Dia yang percaya pada dunia yang lain tidak akan mampu mengkonsentrasikan semua semangatnya untuk merubah dunia yang ada sekarang ini.
Darwinisme dan Marxisme
Bahkan bila Darwin, seperti yang dia sendiri katakan, tidak kehilangan kepercayaannya kepada Tuhan karena semua penyangkalannya terhadap teori penciptaan dari Alkitab, Darwinisme sendiri pada dasarnya sama sekali bertentangan dengan kepercayaan ini. Di dalam ini, seperti halnya di dalam aspek-aspek lain, Darwinisme adalah sebuah pelopor, sebuah persiapan untuk Marxisme. Di ambil dalam pengertian materialis dan dialektis yang luas, Marxisme adalah aplikasi Darwinisme terhadap masyarakat manusia. Liberalisme Manchester telah mencoba untuk memasukkan Darwinisme secara mekanis ke sosiologi. Usaha-usaha seperti ini hanya menghasilkan analogi-analogi kekanak-kanakan yang menjadi kedok dari pembenaran borjuis yang bermaksud jahat: bahwa kompetisinya Marx dijelaskan sebagai hukum “abadi” dari perjuangan eksistensi. Ini adalah konyol. Hanya hubungan internal antara Darwinisme dan Marxisme yang memungkinkan kita untuk memahami gerak hidup dari makhluk hidup di dalam hubungan primevalnya [awalnya] dengan alam inorganik; di dalam partikularisasinya yang selanjutnya dan evolusi; di dalam dinamikanya; di dalam pembedaan kebutuhan-kebutuhan hidup di antara jenis-jenis fundamental dari kerajaan tumbuh-tumbuhan dan binatang; di dalam perjuangan-perjuangannya; di dalam munculnya manusia “pertama” atau makhluk yang menyerupai manusia, yang menggunakan alat untuk pertama kalinya; di dalam perkembangan kerjasama primitif [komunisme primitif – Pent.],yang menggunakan organ-organ asosiatif; di dalam stratifikasi masyarakat selanjutnya sebagai akibat dari perkembangan alat-alat produksi, yakni alat-alat untuk menundukkan alam; di dalam peperangan antar kelas; dan, akhirnya, di dalam perjuangan untuk menghapus kelas-kelas.
Pemahaman dunia dari sebuah sudut pandang yang begitu luas menandakan emansipasi kesadaran manusia untuk pertama kalinya dari sisa-sisa mistisisme, dan mengamankan tempat pijak yang kuat. Ini menandakan bahwa di masa depan tidak akan ada halangan-halangan subjektif di dalam perjuangan, tetapi bahwa satu-satunya halangan dan reaksi yang ada adalah eksternal, dan harus diselesaikan dengan berbagai cara, menurut kondisi-kondisi dari konflik tertentu.
Betapa sering kita mengatakan: “Praktek pada akhirnya menang.” Ini benar di dalam pengertian bahwa pengalaman kolektif dari sebuah kelas, dan dari seluruh umat manusia, perlahan-lahan menyapu ilusi-ilusi dan teori-teori keliru yang berdasarkan generalisasi yang terlalu terburu-buru. Tetapi juga bisa dikatakan dengan kebenaran yang sama: “Teori pada akhirnya menang,” ketika kita memahami bahwa teori pada kenyataannya terdiri dari total pengalaman umat manusia. Di lihat dari sudut pandang ini, pertentangan antara teori dan praktek hilang, karena teori tidak lain adalah praktek yang dipertimbangkan dan digeneralisasi dengan benar. Teori tidak mengalahkan praktek, tetapi teori mengalahkan sikap praktek yang serampangan, empiris, dan kasar. Supaya bisa mengestimasi dengan benar kondisi-kondisi perjuangan dan situasi dari kelas kita sendiri, kita harus memiliki sebuah metode orientasi politik dan sejarah yang dapat diandalkan. Ini adalah Marxisme, atau, sehubungan dengan epos baru-baru ini, Leninisme.
Marx dan Lenin – mereka adalah dua pemandu utama di dalam bidang penelitian sosial. Bagi generasi lebih muda, jalan ke Marx adalah melalui Lenin. Jalan langsung menjadi semakin sulit, karena periode yang terlalu panjang yang memisahkan generasi baru dari para jenius yang menemukan Sosialisme Ilmiah, Marx dan Engels. Leninisme adalah perwujudan dan kondensasi dari Marxisme untuk aksi revolusioner yang langsung di dalam epos kematian masyarakat borjuasi. Institut Lenin di Moskow harus dibuat sebagai akademi strategi revolusioner yang lebih tinggi. Partai Komunis kita dipenuhi dengan semangat kuatnya Lenin. Kejeniusan revolusionernya ada bersama kita. Paru-paru revolusioner kita menghirup atmosfer doktrin yang lebih baik dan lebih tinggi yang telah diciptakan oleh perkembangan pemikiran manusia yang sebelumnya. Oleh karenanya kita sangat yakin bahwa hari esok adalah milik kita.
___________________________________
Sumber: The Communist Review, Desember 1922, Vol. 4, No. 7
Penerbit: Partai Komunis Inggris Raya
Penerjemah: Ted Sprague dari “The Tasks of Communist Education”, Leon Trotsky Internet Archive. Diterjemahkan April 2011.
Ditulis oleh Leon Trotsky
Jumat, 08 April 2011 09:22
Sering ditekankan kalau tugas pencerahan Komunis adalah pendidikan manusia baru. Kata-kata ini agak terlalu umum, terlalu menyedihkan, dan kita harus sangat berhati-hati untuk tidak mengijinkan interpretasi humanitarian tak berbentuk terhadap konsep “manusia baru” atau tugas-tugas pendidikan Komunis. Tidak ada keraguan apapun kalau manusia masa depan, rakyat komune, akan menjadi makhluk yang sangat menarik dan indah, dan bahwa psikologinya (kaum futuris akan memaafkan aku, tetapi saya melihat kalau manusia masa depan akan memiliki psikologi) akan sangat berbeda dengan psikologi kita. Sayangnya, tugas kita sekarang tidak boleh jatuh pada pendidikan manusia masa depan. Pandangan Utopian dan humanitarian-psikologis adalah bahwa manusia baru haruslah dibentuk terlebih dahulu, dan lalu dia akan kemudian menciptakan kondisi-kondisi baru. Kita tidak boleh mempercayai ini. Kita tahu bahwa manusia adalah produk dari kondisi-kondisi sosial. Tetapi kita juga tahu bahwa antara manusia dan kondisi-kondisi itu ada sebuah hubungan yang kompleks dan saling bekerja secara mutual dan aktif. Manusia sendiri adalah instrumen dari perkembangan sejarah ini, dan tidak kurang dari itu. Dan di dalam aksi-reflek historis yang kompleks dari kondisi-kondisi yang dialami oleh manusia-manusia aktif, kita tidak menciptakan rakyat komune yang harmonis dan sempurna secara abstrak, tetapi kita membentuk manusia-manusia konkret dari epos kita, yang masih harus berjuang untuk menciptakan kondisi-kondisi yang mana masyarakat komune harmonis dapat tumbuh. Ini tentu saja adalah hal yang sangat berbeda, untuk alasan yang sederhana bahwa cicit kita, masyarakat dari komune ini, tidak akan menjadi kaum revolusioner.
Sekilas pandang ini tampak keliru, ini hampir menghina. Namun begitulah kenyataannya. Konsepsi “kaum revolusioner” dibentuk oleh kita dari pikiran dan kehendak kita, dari totalitas semangat-semangat terbaik kita, dan oleh karenanya kata “kaum revolusioner” dipenuhi dengan ideal-ideal dan moral-moral tertinggi yang telah kita rebut dari seluruh epos revolusi kebudayaan sebelumnya. Oleh karenanya kita seperti melempar sebuah hujatan kepada anak-cucu kita bila kita tidak menganggap mereka sebagai kaum revolusioner. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa kaum revolusioner adalah sebuah produk dari kondisi sejarah tertentu, sebuah produk dari masyarakat kelas. Kaum revolusioner bukanlah abstraksi psikologis. Revolusi sendiri bukanlah prinsip abstrak, tetapi sebuah kenyataan material historis, yang tumbuh dari antagonisme kelas, dari penindasan satu kelas oleh yang lainnya. Oleh karenanya kaum revolusiner adalah sebuah tipe historis yang konkrit, dan sebagai konsekuensinya sebuah tipe yang temporer. Kita bangga menjadi bagian dari tipe ini. Tetapi dari kerja kita kita sedang membangun kondisi masyarakat dimana tidak akan ada antagonisme kelas, tidak akan ada revolusi, dan oleh karenanya tidak akan ada kaum revolusioner. Benar kalau kita bisa meluaskan arti kata “kaum revolusioner” sampai ia mencakup seluruh aktivitas sadar dari manusia untuk menundukkan alam, dan untuk meluaskan pencapaian-pencapaian teknik dan kebudayaan. Tetapi kita tidak punya hak untuk membuat abstraksi semacam itu, peluasan tanpa batas akan konsepsi “kaum revolusioner”, karena kita belumlah menyelesaikan tugas historis revolusioner konkrit kita, yakni penumbangan masyarakat kelas. Sebagai konsekuennya, kita masih jauh dari diperlukan untuk mendidik rakyat komune harmonis, membentuknya dengan kerja laboratorium yang detil, di dalam sebuah tahapan transisi masyarakat yang sangat tidak harmonis. Tugas semacam ini akan sangat Utopis kekanak-kanakan. Yang kita inginkan adalah untuk membuat para juara, kaum revolusioner, yang akan mewarisi dan menyelesaikan tradisi-tradisi historis, yang belumlah kita bawa sampai ke kesimpulan.
Revolusi dan Mistisisme
Apa karakter-karakter utama dari kaum revolusioner? Kita harus menekankan bahwa kita tidak punya hak untuk memisahkan kaum revolusioner dari basis kelas darimana dia telah berkembang, yang tanpanya dia bukanlah apa-apa. Kaum revolusioner epos kita, yang hanya bisa diasosiasikan dengan kelas buruh, memiliki karakter-karakter psikologisnya yang unik, karakter-karakter intelek dan tekad. Bila diperlukan dan memungkinkan, kaum revolusioner menghancurkan halangan-halangan historis dan menggunakan kekerasan untuk tujuan itu. Bila ini tidak memungkinkan, maka dia mengambil jalan memutar, melemahkan dan menghancurkan, dengan sabar dan teguh. Dia adalah seorang revolusioner karena dia tidak takut untuk menghancurkan halangan-halangan dan dengan tidak mengenal kasihan menggunakan kekerasan; pada saat yang sama dia memahami nilainya. Adalah tujuannya untuk terus mempertahankan pekerjaan destruktif dan kreatifnya di tingkat aktivitas yang tertinggi, yakni, untuk memperoleh dari kondisi-kondisi sejarah tertentu tingkatan paling maksimum dimana mereka mampu menghasilkan gerak maju untuk kelas revolusioner.
Kaum revolusionis hanya tahu halangan-halangan eksternal untuk aktivitasnya, bukan halangan-halangan internal. Yakni: dia harus mengembangkan di dalam dirinya sendiri kapasitas untuk mengestimasi arena aktivitas di dalam semua kekonkretannya, dengan aspek-aspek positif dan negatifnya, dan untuk mencapai sebuah keseimbangan politik yang tepat. Tetapi bila dia secara internal terhambat oleh halangan-halangan internal untuk beraksi, bila dia tidak memiliki pemahaman atau kekuatan tekad, bila dia terhentikan oleh goncangan internal, oleh prasangka-prasangka agama, nasional, atau keahlian, maka dia paling banter hanyalah setengah revolusioner. Sudah terlalu banyak halangan-halangan di dalam kondisi objektif, dan kaum revolusioner tidak boleh memberikan dirinya kemewahan untuk melipatgandakan halangan-halangan dan friksi-friksi objektif dengan halangan-halangan subjektif. Oleh karenanya pendidikan kaum revolusioner harus, pertama-tama, terdiri dari emansipasinya dari sisa-sisa kebodohan dan tahayul, yang sering ditemukan di kesadaran yang sangat “sensitif”. Dan oleh karenanya kita mengadopsi sebuah sikap keras yang tidak mengenal belas kasihan kepada siapapun yang mengucapkan barang satu kata bahwa mistisisme atau sentimentalis religi dapat dikombinasikan dengan Komunisme. Kita berpendapat bahwa ateisme, yang merupakan sebuah elemen yang terpisahkan dari cara pandang materialis, adalah sebuah kondisi yang diperlukan untuk pendidikan teori kaum revolusioner. Dia yang percaya pada dunia yang lain tidak akan mampu mengkonsentrasikan semua semangatnya untuk merubah dunia yang ada sekarang ini.
Darwinisme dan Marxisme
Bahkan bila Darwin, seperti yang dia sendiri katakan, tidak kehilangan kepercayaannya kepada Tuhan karena semua penyangkalannya terhadap teori penciptaan dari Alkitab, Darwinisme sendiri pada dasarnya sama sekali bertentangan dengan kepercayaan ini. Di dalam ini, seperti halnya di dalam aspek-aspek lain, Darwinisme adalah sebuah pelopor, sebuah persiapan untuk Marxisme. Di ambil dalam pengertian materialis dan dialektis yang luas, Marxisme adalah aplikasi Darwinisme terhadap masyarakat manusia. Liberalisme Manchester telah mencoba untuk memasukkan Darwinisme secara mekanis ke sosiologi. Usaha-usaha seperti ini hanya menghasilkan analogi-analogi kekanak-kanakan yang menjadi kedok dari pembenaran borjuis yang bermaksud jahat: bahwa kompetisinya Marx dijelaskan sebagai hukum “abadi” dari perjuangan eksistensi. Ini adalah konyol. Hanya hubungan internal antara Darwinisme dan Marxisme yang memungkinkan kita untuk memahami gerak hidup dari makhluk hidup di dalam hubungan primevalnya [awalnya] dengan alam inorganik; di dalam partikularisasinya yang selanjutnya dan evolusi; di dalam dinamikanya; di dalam pembedaan kebutuhan-kebutuhan hidup di antara jenis-jenis fundamental dari kerajaan tumbuh-tumbuhan dan binatang; di dalam perjuangan-perjuangannya; di dalam munculnya manusia “pertama” atau makhluk yang menyerupai manusia, yang menggunakan alat untuk pertama kalinya; di dalam perkembangan kerjasama primitif [komunisme primitif – Pent.],yang menggunakan organ-organ asosiatif; di dalam stratifikasi masyarakat selanjutnya sebagai akibat dari perkembangan alat-alat produksi, yakni alat-alat untuk menundukkan alam; di dalam peperangan antar kelas; dan, akhirnya, di dalam perjuangan untuk menghapus kelas-kelas.
Pemahaman dunia dari sebuah sudut pandang yang begitu luas menandakan emansipasi kesadaran manusia untuk pertama kalinya dari sisa-sisa mistisisme, dan mengamankan tempat pijak yang kuat. Ini menandakan bahwa di masa depan tidak akan ada halangan-halangan subjektif di dalam perjuangan, tetapi bahwa satu-satunya halangan dan reaksi yang ada adalah eksternal, dan harus diselesaikan dengan berbagai cara, menurut kondisi-kondisi dari konflik tertentu.
Betapa sering kita mengatakan: “Praktek pada akhirnya menang.” Ini benar di dalam pengertian bahwa pengalaman kolektif dari sebuah kelas, dan dari seluruh umat manusia, perlahan-lahan menyapu ilusi-ilusi dan teori-teori keliru yang berdasarkan generalisasi yang terlalu terburu-buru. Tetapi juga bisa dikatakan dengan kebenaran yang sama: “Teori pada akhirnya menang,” ketika kita memahami bahwa teori pada kenyataannya terdiri dari total pengalaman umat manusia. Di lihat dari sudut pandang ini, pertentangan antara teori dan praktek hilang, karena teori tidak lain adalah praktek yang dipertimbangkan dan digeneralisasi dengan benar. Teori tidak mengalahkan praktek, tetapi teori mengalahkan sikap praktek yang serampangan, empiris, dan kasar. Supaya bisa mengestimasi dengan benar kondisi-kondisi perjuangan dan situasi dari kelas kita sendiri, kita harus memiliki sebuah metode orientasi politik dan sejarah yang dapat diandalkan. Ini adalah Marxisme, atau, sehubungan dengan epos baru-baru ini, Leninisme.
Marx dan Lenin – mereka adalah dua pemandu utama di dalam bidang penelitian sosial. Bagi generasi lebih muda, jalan ke Marx adalah melalui Lenin. Jalan langsung menjadi semakin sulit, karena periode yang terlalu panjang yang memisahkan generasi baru dari para jenius yang menemukan Sosialisme Ilmiah, Marx dan Engels. Leninisme adalah perwujudan dan kondensasi dari Marxisme untuk aksi revolusioner yang langsung di dalam epos kematian masyarakat borjuasi. Institut Lenin di Moskow harus dibuat sebagai akademi strategi revolusioner yang lebih tinggi. Partai Komunis kita dipenuhi dengan semangat kuatnya Lenin. Kejeniusan revolusionernya ada bersama kita. Paru-paru revolusioner kita menghirup atmosfer doktrin yang lebih baik dan lebih tinggi yang telah diciptakan oleh perkembangan pemikiran manusia yang sebelumnya. Oleh karenanya kita sangat yakin bahwa hari esok adalah milik kita.
___________________________________
Sumber: The Communist Review, Desember 1922, Vol. 4, No. 7
Penerbit: Partai Komunis Inggris Raya
Penerjemah: Ted Sprague dari “The Tasks of Communist Education”, Leon Trotsky Internet Archive. Diterjemahkan April 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)